Yesus Hidup Kembali ataukah Kebangkitan Kembali...?
Skenario  tentang kembali hidupnya Yesus dari kematian menampilkan banyak permasalahan.  Beberapa di antaranya telah diperbincangkan pada bab terdahulu. Kini kita  beralih pada unsur dan permasalahan lain. 
Yang  menjadi perhatian kami adalah kondisi "otak" Yesus, sebelum Penyaliban dan  setelah beliau siuman kembali. Otaknya telah difungsikan kembali, setelah tidak  berfungsi selama tiga hari tiga malam. Pertanyaannya adalah, apa yang  sungguh-sungguh telah terjadi pada otak saat kematian? Pada satu poin, paling  tidak, terdapat kesepakatan di antara para ahli medis Kristen dan non-Kristen:  jika otak mati lebih dari beberapa menit, itu berarti mati dan hilang selamanya.  Segera setelah suplai darah terhenti, otak mulai mengalami kerusakan.  
Jika  Yesus telah mati pada waktu Penyaliban, hal itu hanya dapat berarti bahwa  jantung beliau berhenti berfungsi dan berhenti menyuplai darah ke otak beliau,  dan otak beliau segera mati sesudah itu. Jadi, seluruh sistim penyanggah hidup  beliau telah berhenti beroperasi, atau beliau tidak dapat dinyatakan mati pada  waktu itu. Dengan demikian, kita dihadapkan pada permasalahan yang sangat  membangkitkan minat, dalam kaitan memahami tentang hidup dan matinya Yesus  Kristus. 
Kematian  Yesus Kristus, seperti yang telah dikemukakan, berarti kepergian terakhir tubuh  ruhani beliau, atau apa yang kita sebut ruh, dari jaringan fisik tubuh manusia  beliau. Jika demikian, hidupnya beliau kembali berarti kembalinya tubuh ruhani  itu ke dalam tubuh fisik yang sama yang telah ia tinggalkan tiga hari  sebelumnya. 
Kembalinya  ruh seperti itu akan menghidupkan kembali jam kehidupan fisik dan membuatnya  mulai berdetak kembali. Untuk hal yang terjadi seperti itu, sel-sel otak yang  telah mengalami kerusakan dan mati, tiba-tiba akan kembali hidup, dan proses  kimiawi pembusukan yang cepat, akan berbalik seluruhnya. Hal ini mencakup sebuah  persoalan besar dan akan tetap menjadi suatu tantangan bagi para ahli biokimia  Kristen untuk memecahkannya. Uraian berbaliknya seluruh proses kimiawi  pembusukan/kematian dalam sistim saraf pusat, adalah di luar jangkauan yang  paling jauh dari imajinasi ilmuwan. Jika hal ini benar-benar telah terjadi,  tentu saja ini merupakan sebuah mukjizat, yang bertentangan dengan sains dan  memperolok hukum-hukum yang telah dibuat oleh Tuhan sendiri, tetapi hal itu akan  menjadi suatu mukjizat yang masih belum dapat memecahkan permasalahan.  
Kehidupan  kembali seperti itu tidak hanya berarti hidupnya kembali sel-sel pada sistim  saraf pusat, tetapi benar-benar perpaduan mereka. Bahkan jika sel-sel yang sama  direkonstruksi dan dihidupkan kembali persis seperti sebelumnya, mereka pada  kenyataannya akan menjadi suatu set baru sel-sel yang tidak memiliki memori  sebelumnya. Selsel itu harus dirancang kembali lengkap dengan seluruh data yang  terkait dengan kehidupan Yesus, yang telah terhapus dari otak beliau setelah  kematian otak tersebut. 
Hidup,  seperti yang kita ketahui, tediri dari sebuah kesadaran yang diisi dengan  informasi yang disimpan oleh milyaran neuron dalam otak. Informasi tersebut  kemudian terbagi dalam data informasi terkomputerisasi yang lebih rumit dan  saling terkait, yang diterima melalui panca indera. Jika data itu terhapus,  kehidupan juga akan terhapus. Oleh karena itu, hidupnya kembali otak Yesus  berarti pembangunan dan perakitan sebuah komputer otak baru dengan  software/perangkat-lunak yang sama sekali baru. Hal yang kompleks/rumit ini juga  berkait dengan [aspek] kimia seluruh bagian tubuh lainnya pada Yesus Kristus.  Untuk menghidupkan kembali tubuh itu, proses rekonstruksi kimiawi yang maha  besar harus dijalankan, setelah menyelamatkan kembali segenap materi yang telah  hilang dalam proses pembusukan/kematian. Dengan terjadinya mukjizat yang begitu  besar, pertanyaan akan timbul: siapa yang telah dihidupkan kembali, dan dengan  dampak apa? Apakah manusia dalam diri Yesus, ataukah tuhan dalam beliau? Itulah  sebabnya kami menegaskan tentang pentingnya memahami wujud diri Yesus.  
Ketika  Yesus diketahui telah bimbang dan gagal menunjukkan kedigdayaan beliau sebagai  Anak Tuhan, orang-orang Kristen berlindung pada penda'waan bahwa beliau itu  bimbang sebagai seorang manusia bukan sebagai tuhan. Jadi, kita memiliki hak  penuh untuk mempertanyakan dan secara jelas merinci bagian mana yang merupakan  manusia dalam diri beliau dan bagian mana yang merupakan tuhan. Kebimbangan  wujud manusia dalam diri Yesus menuntut suatu otak/pemikiran manusia yang  merupakan suatu jati diri terpisah dari tuhan dalam diri beliau. Ketika otak itu  dihidupkan kembali, adalah unsur manusia dalam diri Yesus yang telah dihidupkan  kembali, sebab zat "tuhan" dalam diri Yesus tidak membutuhkan sebuah otak  lahiriah untuk menopangnya. Bagi zat "tuhan" itu, ia hanya berfungsi sebagai  suatu wadah selama persinggahannya terdahulu di bumi, seperti suatu sarana  ruhani. Oleh karena itu, hidupnya kembali Yesus hanya melibatkan hidupnya  kembali wujud manusia dalam diri beliau, yang tanpa itu kembalinya ruh beliau  kepada tubuh yang sama menjadi tidak mungkin. 
Jika  skenario ini tidak dapat diterima, maka kita akan menghadapi permasalahan berat  lain, yaitu menisbahkan pada Yesus dua otak/pemikiran yang independen selama  kehidupan beliau di bumi. Satu otak manusia, dan satu lagi otak tuhan. Kedua  otak/pikiran ini bersama-sama mengisi satu tempat yang sama, tetapi saling tidak  berhubungan dan berdiri sendiri. Jika demikian, masalah hidup kembali itu  terpaksa harus dikaji ulang sampai fakta yang sebenarnya dipahami secara jelas.  Dalam skenario ini, orang tidak harus dapat memahami intisari pembangunan  kembali otak manusia sebagai wadah bagi pikiran manusia. Kita hanya perlu  membayangkan bagaimana Yesus masuk kembali ke dalam batok kepala yang berisikan  bangkai otak yang membusuk/mati milik tubuhnya terdahulu. 
Semakin  dalam kita menelaah permasalahan ini semakin banyak permasalahan yang muncul  dalam kepala mereka pada setiap tahap pemeriksaan. Pikiran manusia membutuhkan  sebuah otak sebagai sarana bagi proses pemikirannya. Sejauh yang berkaitan  dengan fungsi-fungsi tubuh lahiriah, jika kita percaya otak/pikiran itu sebagai  suatu sosok terpisah yang hidup sendiri maka ini secara tidak langsung  menyatakan bahwa otak/pikiran dan ruh adalah satu hal yang sama. Dengan  memberikan nama apa pun padanya, tidak peduli apakah kita menamakannya pikiran  atau ruh, ia dapat dianggap mampu hidup secara terpisah walau hubungannya dengan  otak manusia telah terputus. Namun, jika pikiran atau ruh itu diminta  mengendalikan tubuh manusia atau menyerap pengaruh dari apa yang terjadi pada  kenyataan-kenyataan fisik, maka tampaknya harus ada ikatan yang bagus antara  pikiran dan otak, atau antara ruh dan otak. Jika tidak, mereka tidak dapat  mempengaruhi, menggerakkan atau mengendalikan proses-proses fisik, mental dan  perasaan dalam diri manusia. Mungkin hal ini tidak dapat diperdebatkan.  
Dari  sini, kita digiring kepada permasalahan serius lainnya: apakah oknum yang  disebut Tuhan Anak itu perlu mengendalikan sebuah tubuh melalui sebuah otak? Dan  apakah dia bertumpu pada sebuah otak lahiriah untuk proses-proses pikirannya?  Jika dia melampaui segenap batasan manusia dan jika dia memiliki sistim yang  mandiri bagi proses pikirannya, aneh baginya, tanpa sejajar dengan seluruh alam  hasil ciptaannya, maka kembalinya ruh Tuhan ke dalam tubuh manusia beriringan  dengan pikiran manusia, membentuk suatu gambaran aneh berupa dua kepribadian  dengan proses pikiran yang bertentangan, sebab tidak mungkin bagi pikiran  manusia dan ruh manusia untuk menyatu secara total dengan pikiran Tuhan dan  Wujud-Nya. 
Pasti  ada perbedaan yang tetap antara kedua proses pemikiran, dibarengi  benturan-benturan yang sangat mengganggu gelombang-gelombang otak. Kasus semacam  ini tepatnya ditangani oleh seorang psikiater superhuman. Mungkin ini sebuah  jenis baru schizofrenia (penyakit jiwa) ruhaniah . 
Dengan  mengatakan demikian, mari kita bangun kembali seluruh skenario dari sudut lain.  Setelah mempelajari kekristenan pada kedalaman tertentu, saya sampai pada  kesimpulan bahwa terdapat kerancuan umum dalam memahami beberapa istilah dari  terapannya, tanpa memahami penuh dampak-dampaknya terhadap situasisituasi yang  sebenarnya tidak tepat. Ideologi Kristen diselubungi oleh kabut tebal kerancuan  dan kesalahan dalam menerapkan istilah. Revival  (siuman)  adalah istilah tersendiri, sedangkat resurrection  (kebangkitan  kembali) lain lagi, dan keduanya memiliki makna berbeda. Sejauh ini, kami  sengaja menggunakan istilah revival  (siuman)  ketika membincangkan kemungkinan hidupnya Yesus kembali. Sebagaimana yang telah  kita saksikan dari pembahasan sebelumnya, ‘hidup kembali' berarti kembalinya  seluruh fungsi vital tubuh manusia sesudah ‘mati’. Namun, kebangkitan kembali'  (resurrection)  adalah  suatu fenomena yang benar-benar berbeda. 
Sayangnya,  gereja Kristen, di seluruh dunia, bertanggungjawab atas penciptaan kerancuan  dalam pemikiran-pemikiran Kristen melalui penggunaan yang salah terhadap  istilah-istilah tersebut, dan dengan cara menukarnya satu sama lain, atau paling  tidak dengan cara menisbahkan makna yang satu terhadap lainnya. Kebanyakan orang  Kristen memahami kebangkitan (resurrection)  Yesus  Kristus sebagai hidupnya sekali lagi tubuh manusia beliau yang telah beliau  tinggalkan pada saat apa yang disebut sebagai kematian beliau. Tentu kami tidak  sependapat dengan itu, dan tetap menggunakan hak kami untuk menyatakannya  sebagai kondisi koma total dan bukan kematian. 
Jika  dipahami dan diterapkan secara benar, kata ‘kebangkitan Yesus' tidak dapat  berarti kembalinya ruh beliau ke dalam tubuh manusia yang sama yang telah  ditinggalkannya pada saat mati. Istilah ‘kebangkitan' (resurrection)  hanya  berarti kelahiran/penciptaan sebuah tubuh ruhani baru. Tubuh semacam itu  bersifat ruhaniah, dan berfungsi sebagai semacam wadah bagi ruh yang telah  disucikan dalamnya. Ia telah diciptakan untuk kelangsungan abadi bagi kehidupan  sesudah mati. Sebagian orang menyebutnya tubuh sidereal  body (tubuh  nyata sampingan) atau astral  body (tubuh  ruhani), dan sebagian menyebutnya athma.  Apa  pun nama yang anda berikan untuknya, makna intinya tetap sama; ‘kebangkitan'  digunakan bagi kelahiran tubuh baru bagi ruh yang bersifat sangat halus, dan  bukan, kami ulangi, bukan kembalinya ruh ke dalam tubuh manusia yang sama yang  telah rusak dan yang telah ditinggalkan sebelumnya. 
Paulus  telah memberikan ulasan/komentar panjang lebar dengan menggunakan istilah ini  mengenai kebangkitan Yesus Kristus. Dia percaya tidak hanya pada kebangkitan  Yesus, tetapi kebangkitan secara umum semua orang yang mati dan dianggap pantas  oleh Tuhan untuk diberi sebuah eksistensi baru dan sebuah bentuk kehidupan baru.  Kepribadian sang ruh tetap sama, tetapi tubuh/cangkangnya berubah: Menurut  Paulus, ini adalah fenomena umum yang harus diterima, jika tidak, tidak ada  makna yang tersisa bagi kekristenan atau agama. 
Surat-surat  Paulus kepada orang-orang Korintius harus dipelajari secara mendalam, sebab  merupakan titik pusat permasalahan. Surat-surat itu tidak menyisakan tempat bagi  keraguan, dalam pikiran saya paling tidak, yakni bila saja dia berbicara tentang  telah terlihatnya Yesus hidup-hidup setelah Penyaliban, dia berbicara secara  jelas dan tanpa kerancuan mengenai kebangkitan dan kebangkitan beliau semata,  serta tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa ruh Yesus telah kembali  masuk ke dalam tubuh beliau yang tidak abadi itu, dan bahwa beliau telah  dibangkitan kembali dari kematian  dalam istilah fisik. Jika pemahaman saya tentang Paulus tidak dapat diterima  oleh beberapa theolog Kristen, mereka akan terpaksa mengakui bahwa Paulus secara  nyata menempatkan dirinya pada pertentangan. Sebab, paling tidak dalam beberapa  penjelasannya mengenai kehidupan baru Yesus, dia tidak meninggalkan unsur  keraguan sedikit pun bahwa dia memahami kehidupan baru Yesus itu sebagai  kebangkitan (resurrection)  dan  bukan sebagai hidupnya kembali (revival)  tubuh  manusia, di mana dikatakan tempat ruhnya pernah terkurung. 
Berikut  ini beberapa kutipan terkait yang berbicara dengan sendirinya: Allah, yang  membangkitkan Tuhan (Yesus), akan membangkitkan kita juga oleh kuasa-Nya.  (Korintius  I, 6:14). 
Demikianlah  pula halnya dengan kebangkitan orang mati. Ditaburkan dalam kebinasaan,  dibangkitkan dalam ketidakbinasaan. Ditaburkan dalam kehinaan, dibangkitkan  dalam kemuliaan. Ditaburkan dalam kelemahan, dibangkitkan dalam kekuatan. Yang  ditaburkan adalah tubuh alamiah, yang dibangkitkan adalah tubuh ruhaniah.  (Korintius  I, 15:42-44).  Sebab nafiri akan berbunyi dan orang-orang mati akan dibangkitkan dalam keadaan  yang tidak dapat binasa dan kita semua akan diubah. Karena yang dapat binasa ini  harus mengenakan yang tidak dapat binasa, dan yang dapat mati ini harus  mengenakan yang tidak dapat mati. Dan sesudah yang dapat binasa ini mengenakan  yang tidak dapat binasa dan yang dapat mati ini mengenakan yang tidak dapat  mati, maka genaplah firman Tuhan yang tertulis: ‘Maut telah ditelan dalam  kemenangan.' (Korintius  I, 15:52-54).  Tetapi hati kami tabah, dan terlebih suka kami beralih dari tubuh ini untuk  menetap pada Tuhan. (Korintius  II, 5:8). 
Permasalahan  yang masih harus dipecahkan timbul dari referensi Paulus kepada warga Kristen  masa awal mengenai bagaimana Yesus telah kelihatan hidup dalam tubuh beliau  segera sesudah Penyaliban. Jika Paulus memahami bahwa Yesus telah mengalami  kebangkitan, dia dapat saja benar tentunya, dan mimpi/rukya pribadinya tentang  Yesus atau bersama beliau dapat dijelaskan dalam makna kebangkitan seperti  berkunjungnya ruh seorang yang telah mati dari dunia lain, yang menuntut sang  hantu untuk tampil persis seperti bentuk dan rupa sebelum kematian. Namun,  tampaknya terjadi kerancuan atas tercampurnya dua jenis bukti. Pertama-tama kita  harus mempertimbangkan bukti terdahulu dari para murid Yesus dan mereka yang  mencintai dan memuja beliau, walaupun mereka mungkin secara formal belum masuk  Kristen saat itu. Bukti tersebut tampaknya telah salah dipahami oleh Paulus,  sebab bukti itu secara jelas menyatakan Yesus dalam bentuk manusianya dengan  sebuah tubuh lahiriah yang tidak dapat ditafsirkan sebagai kebangkitan.  
Untuk  membuktikan hal itu, orang dapat merujuk pada episode ketika Yesus mengejutkan  beberapa murid beliau: Mereka terkejut dan takut dan menyangka bahwa mereka  melihat hantu. Akan tetapi ia (Yesus) berkata kepada mereka: "Mengapa kamu  terkejut dan apa sebabnya timbul keragu-raguan dalam hati kamu? Lihatlah  tanganku dan kakiku. Aku sendirilah ini; rabalah aku dan lihatlah, karena hantu  tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat padaku." Sambil berkata  demikian, ia memperlihatkan tangan dan kakinya kepada mereka. Dan, ketika mereka  belum percaya karena girangnya dan masih heran, berkatalah ia kepada mereka:  "Adakah padamu makanan di sini?" Lalu mereka memberikan kepadanya sepotong ikan  goreng. Ia mengambilnya dan memakannya di depan mata mereka. (Lukas  24:37-34). 
Episode  ini secara jelas menyingkirkan pemikiran tentang kebangkitan, dan menyatakan  bahwa Yesus ingin memperlihatkan secara jelas bahwa beliau masih merupakan orang  sama dalam tubuh manusia yang sama dan bukan hantu; dan tidak pula beliau  merupakan seseorang yang tidak lagi membutuhkan makanan untuk bertahan hidup.  Hal ini lebih lanjut menunjukkan bahwa warga Kristen masa awal menyatakan  dua hal yang berbeda. Bila saja mereka berbicara tentang hidupnya kembali Yesus  dari kematian dan telah dihadang oleh keraguan tentang betapa tidak masuk  akalnya pemikiran seperti itu, mereka berlindung pada gagasan kebangkitan, yang  secara falsafah dan logika dapat dijelaskan. Korintius  I, khususnya,  menampilkan peluang yang bagus untuk mempelajari dilema bagaimana menempatkan  kaki seseorang pada dua buah perahu yang berbeda. 
Akhimya,  kembali pada bukti perjumpaan warga Kritsten masa awal dengan Yesus Kristus,  kita tidak diberi pilihan kecuali mempercayai bahwa Yesus yang telah tampil di  hadapan banyak murid dan sahabat beliau segera setelah Penyaliban, yang telah  bercakap-cakap dengan mereka, yang telah [duduk] bersama-sama mereka, dan secara  bertahap berpindah menjauhi tempat Penyaliban, kebanyakan dalam kegelapan malam,  sudah pasti bukanlah orang yang telah dibangkitkan, tetapi orang yang secara  fisik telah dihidupkan kembali dari kematian, atau orang yang tidak pernah mati  tetapi secara mukjizat telah pulih dari kondisi yang mendekati mati. Beliau  memang sudah sangat dekat dengan kematian, sehingga kondisi beliau dapat  disebandingkan dengan kondisi Nabi Yunus dalam perut ikan. Kami tidak ragu dalam  pemikiran kami, bahwa pilihan terakhir ini satusatunya yang dapat diakui.  
Guna  memudahkan kaum Kristen untuk memahami sudut pandang kami, saya akan memaparkan  kasus hipotetis yang sama. Cerita yang sama diulangi kembali dalam kehidupan  nyata zaman sekarang. Rencana untuk membunuh seseorang dilakukan dengan cara  menyalibkannya, dan dia diperkirakan akan mati sebagai akibatnya. Setelah itu,  orang yang sama tampak berkeliaran oleh beberapa rekan dekatnya. Mereka juga  menyaksikan tubuh lahiriahnya yang tampak jelas mengandung bekasbekas  penyaliban. Kemudian orang itu ditangkap kembali oleh petugas hukum dan diseret  ke pengadilan dengan tuntutan dari pihak kejaksaan, yakni dikarenakan dia telah  terhindar dari maut dalam rencana pertama maka untuk menjalani hukuman yang  telah dijatuhkan kepadanya, dia harus disalib kembali. Orang itu kemudian  membela diri dengan memaparkan argumentasi bahwa dia satu kali sudah pasti dapat  mati, sehingga tujuan hukuman telah terpenuhi; dan sekarang dia telah  dibangkitkan dari kematian oleh suatu keputusan khusus dari Tuhan, maka hukuman  yang terdahulu itu tidak dapat dilaksanakan kembali, sebab dia memperoleh suatu  kehidupan yang benar-benar baru, yang di dalamnya dia tidak melakukan  pelanggaran hukum apa pun. Jika pengadilan menerima pembelaan ini, sudah jelas  dia tidak akan dihukum lagi untuk suatu kesalahan yang telah dia tebus.  
Yesus,  telah tumbuh menjadi salah satu dan pilar-pilar keimanar Kristen, yang tanpanya  maka seluruh bangunan theologi Kristen akan rubuh? Kami akan berusaha  memproyeksikan diri kami ke dalam pemikiran-pemikiran warga Kristen awal yang  menghadapi suatu dilema yang sulit sekali dipecahkan, dan mulai merekonstruksi  kondisikondisi yang dalamnya kekristenan telah diberikan sebuah bentuk yang  berbeda dari kenyataannya. Dengan cara ini mungkin akan lebih mudah bagi kami  untuk memahami secara mendalam proses pembentukan dan perombakan Kristen. Fakta  nyata yang harus menjadi pusat pemikiran adalah: jika Yesus alaihissalam  benar-benar telah mati di tiang salib, maka pada pandangan orang-orang Yahudi  beliau itu jelas-jelas tampil sebagai seorang pendusta. 
Komentar
Posting Komentar