Konsili Nicea
Konsili Nicea I, yang diselenggarakan di Nicaea, Bithynia (sekarang İznik di Turki), dan yang dihimpunkan oleh Kaisar Romawi Konstantinus Agung pada tahun 325, merupakan Konsili Ekumenis yang pertama[1] dari Gereja Kristiani, dan hasil utamanya adalah keseragaman dalam doktrin Kristiani, yang disebut Kredo Nicea. Dengan diciptakannya kredo ini, terbentuk suatu preseden bagi konsili-konsili umum (ekumenis) para uskup (sinode-sinode) untuk menciptakan pokok-pokok pernyataan iman dan kanon-kanon ortodoksi doktrinal— guna mewujudkan kesatuan iman bagi seluruh umat Kristiani.
Tujuan diselenggarakannya konsili ini adalah untuk menyelesaikan perbedaan pendapat dalam Gereja Aleksandria mengenai hakikat Yesus dalam hubungannya dengan Sang Bapa; khususnya, mengenai apakah Yesus memiliki substansi yang sama dengan Allah Bapa ataukah sekedar memiliki substansi yang serupa belaka dengan Allah Bapa. St. Aleksander dari Aleksandria dan Athanasius berpegang pada pendapat yang pertama; sedangkan seorang presbiter populer bernama Arius, yang dari namanya muncul istilah Arianisme, berpegang pada pendapat yang kedua.
Konsili memutuskan bahwa pendukung Arius telah keliru (dari kira-kira 250-318 peserta, seluruhnya kecuali 2 orang, memberi suara menentang Arius[2]). Hasil lain dari konsili ini adalah kesepakatan mengenai waktu perayaan Kebangkitan Kristus (Paskha dalam Bahasa Yunani; Paskahdalam Bahasa Indonesia), hari raya terpenting dalam kalender gerejawi. Konsili memutuskan untuk merayakan hari Kebangkitan Kristus pada hari Minggu pertama sesudah bulan purnama pertama terhitung sejak vernal equinox, lepas dariPenanggalan Ibrani (lihat pula Quartodecimanisme).
Konsili memberikan wewenang kepada Uskup Aleksandria (yang menggunakan Kalender Aleksandrian) untuk setiap tahun mengumumkan tanggal perayaan Paskah kepada rekan-rekan uskupnya.
Konsili Nicea signifikan secara historis karena konsili ini adalah upaya pertama untuk mencapai konsensus dalam Gereja melalui suatu permusyawaratan yang mewakili keseluruhan umat Kristiani.[3] "Konsili ini adalah kesempatan pertama bagi pengembangan Kristologi teknis."[3] Lebih dari pada itu, "Konstantinus, dengan menghimpun dan memimpin konsili ini, menandakan adanya kendali kekaisaran atas Gereja."[3] Suatu preseden telah ditetapkan bagi konsili-konsili umum berikutnya untuk menciptakan kredo-kredo dan kanon-kanon.
Sifat dan tujuan
Konsili Nicea pertama diperhimpunkan oleh Konstantinus I atas rekomendasi-rekomendasi dari sebuah sinode yang dipimpin Hosius dari Cordoba pada masa Paskah tahun 325. Sinode ini bertugas menginvestigasi permasalahan yang muncul akibat kontroversi Arianisme di kawasan Timur yang berbahasa Yunani.[4] Bagi kebanyakan uskup, ajaran-ajaran Arius adalah bidaah dan berbahaya bagi keselamatan jiwa-jiwa. pada musim panas tahun 325, para uskup dari seluruh provinsi dipanggil ke Nicea (kini dikenal dengan nama İznik, di negara Turki modern), suatu lokasi yang mudah dicapai oleh mayoritas dari para uskup tersebut, khususnya mereka yang datang dari Asia Kecil, Syria, Palestina, Mesir, Yunani, dan Trakea.
Diperkirakan ada 250 sampai 318 uskup yang hadir, dari tiap wilayah Kekaisaran Romawi kecuali Britania. Konsili ini merupakan konsili umum pertama dalam sejarah Gereja sejak Konsili Apostolik di Yerusalem, yang menetapkan syarat-syarat penerimaan orang-orang non-Yahudi menjadi anggota Gereja.[5] Dalam Konsili Nicea, “Gereja mengambil langkah besar pertamanya untuk merumuskan suatu doktrin secara lebih jelas sebagai tanggapan atas tantangan dari suatu teologi bidaah.”[6] Resolusi-resolusi konsili yang ekumenis ini, ditujukan bagi Gereja secara keseluruhan.
Peserta konsili
Konstantinus mengundang seluruh dari 1800 uskup Gereja Kristiani (kira-kira 1000 uskup di Timur dan 800 uskup di Barat), akan tetapi jumlah hadirin kurang dari 1800, dan tidak diketahui secara pasti. Menurut perhitungan Eusebius dari Kaesarea, jumlah peserta mencapai 250 orang,[7] menurut Athanasius dari Aleksandria ada 318 peserta,[8] dan menurut Eustathius dari Antiokhia ada 270 peserta[9] (ketiga-tiganya hadir dalam konsili ini). Di kemudian hari, Socrates Scholasticus mencatat bahwa jumlah peserta mencapai lebih dari 300 orang,[10] dan Evagrius,[11] Hilarius,[12] Hieronimus[13] dan Rufinus mencatat ada 318 orang.
Para uskup yang berpartisipasi diberi perjalanan gratis pulang-pergi dari keuskupannya masing-masing ke lokasi konsili, serta penginapan cuma-cuma. Para uskup ini tidak datang sendirian; masing-masing diizinkan membawa serta dua orang imam dan tiga orang diakon; dengan demikian jumlah total hadirin bisa mencapai 1500 orang. Eusebius mencatat mengenai rombongan besar para pengiring yang terdiri atas para imam, diakon, dan akolit yang hampir tak terhitung jumlahnya.
Konsili ini juga penting mengingat penganiayaan terhadap umat Kristiani baru saja berakhir dengan dikeluarkannya Maklumat Milanopada Februari 313 oleh Kaisar Konstantinus dan Kaisar Licinius.
Mayoritas peserta konsili adalah para uskup dari Timur. Dari antara mereka, peringkat utama ditempati oleh tiga orang patriark:Aleksander dari Aleksandria, Eustathius dari Antiokhia, dan Makarius dari Yerusalem. Banyak dari para Bapa Konsili yang hadir— misalnya, Pafnutius dari Thebes, Potamon dari Heraklea dan Paulus dari Neokaesarea — telah bertahan sebagai saksi-saksi iman mereka dan datang ke konsili dengan tanda-tanda penganiayaan yang masih berbekas di wajah mereka.
Peserta lain yang terkemuka adalah Eusebius dari Nikomedia; Eusebius dari Kaesarea; Nikolaus dari Myra; Aristakes dari Armenia (putra Santo Gregorius Sang Illuminator); Leontius dari Kaesarea; Yakub dari Nisibis, seorang mantan pertapa; Hipatius dari Granga; Protogenes dari Sardika; Melitius dari Sebastopolis; Achilleus dari Larissa; Athanasius dari Thessalia[14] dan Spyridion dari Trimythous, seorang uskup yang mencari nafkah dengan berprofesi sebagai gembala. Peserta yang berasal dari luar Kekaisaran Romawi adalah uskup Persia bernama Yohanes, uskup Goth bernama Theophilus dan Stratofilus, uskup Pitsunda di Egrisi (sekarang ini berlokasi di perbatasan Rusia dan Georgia di luar Kekaisaran Romawi).
Provinsi-provinsi berbahasa Latin mengutus sekurang-kurangnya lima wakil: Markus dari Calabria dari Italia, Cecilianus dari Kartago dari Afrika, Hosius dari Córdoba dari Hispania,Nikasius dari Dijon dari Gallia,[14] dan Domnus dari Stridon dari provinsi Danube. Paus Silvester I tidak dapat hadir, dengan alasan sudah tidak kuat lagi, namun dia diwakili oleh dua orang imam.
Di antara para asisten adalah Athanasius dari Aleksandria, seorang diakon muda dan pendamping Uskup Aleksander dari Aleksandria. Athanasius kelak membaktikan hampir sebagian besar sisa umurnya untuk melawan Arianisme. Aleksander dari Konstantinopel, yang saat itu seorang presbiter, juga hadir mewakili uskupnya yang sudah lanjut usia. .[14]
Para pendukung Arius adalah Sekundus dari Ptolemais, Theonus dari Marmarika, Zphyrius, dan Dathes, semuanya dari Libya dan Pentapolis. Pendukung lainnya adalah Eusebius dari Nikomedia,[15] Eusebius dari Kaesarea, Paulinus dari Tirus, Aktius dari Lydda, Menofantus dari Efesus, dan Theognus dari Nicea.[16][14]
"Dengan mengenakan kain ungu dan emas, Konstantinus melakukan arak-arakan masuk seremonial pada pembukaan konsili, mungkin di awal bulan Juni, namun dengan penuh penghormatan menempatkan para uskup mendahuluinya dalam arak-arakan."[5] Menurut deskripsi Eusebius, Konstantinus "sendiri lewat di tengah-tengah barisan para uskup, seperti seorang utusan Allah, mengenakan busana yang berkerlipan seakan-akan terbuat dari berkas-berkas cahaya, memantulkan warna jubah ungunya, dan bertatahkan perhiasan emas yang cemerlang serta ratna mutu manikam."[17] Dia hadir sebagai seorang pengamat, namun tidak ikut dalam pemungutan suara. Konstantinus mengorganisir konsili menurut tata-tertib Senat Romawi. "Ossius [Hosius] memimpin konsili pada saat perumusan keputusan; sangat mungkin dia, dan tentunya dua orang imam dari Roma, datang sebagai wakil Sri Paus."[5] “Eusebius dari Nikomedia kemungkinan besar menyampaikan kata sambutan."[5][18]
Agenda dan prosedur
Agenda sinode adalah:
- Masalah Arianisme,
- Tanggal perayaan Paskah,
- Skisma Meletia,
- Apakah Sang Bapa dan Sang Anak itu satu kehendak atau satu pribadi,
- Validitas pembaptisan yang dilakukan oleh kaum bidaah, dan
- Status dari orang-orang yang murtad pada masa penganiayaan Kaisar Licinius.
Eusebius dari Kaesarea mengimbau hadirin untuk mempertimbangkan kredo-pembaptisan (symbolum) yang dipergunakan keuskupannya di Kaesarea di Palestina, sebagai sebuah bentuk rekonsiliasi. Mayoritas uskup setuju. Dulu para ahli berpendapat bahwa Kredo Nicea yang asli didasarkan atas pernyataan dari Eusebius tersebut. Kini banyak ahli berpendapat bahwa Kredo Nicea diturunkan dari kredo-pembaptisan di Yerusalem, sebagaimana yang dianjurkan oleh Hans Lietzmann. Kemungkinan lainnya adalah bahwa kredo tersebut diturunkan dari Kredo Para Rasul.
Dalam tiap kasus, selama berlangsungnya konsili, para uskup ortodoks mendapat persetujuan dari semua orang atas proposal-proposal mereka. Sesudah bersidang sebulan penuh, konsili mengeluarkan Kredo Nicea asli pada 19 Juni. Pernyataan iman ini diadopsi oleh semua “kecuali dua uskup dari Libya yang sejak semula sangat berpihak pada Arius.”[6] Tidak ada catatan historis mengenai ketidaksetujuan mereka; tanda tangan dari kedua uskup tersebut hanya tidak tercantum dalam kredo.
Bagi yang mau mengikuti diskusinya, silahkan Klik Disini
Komentar
Posting Komentar